Advokat dan Konsultan Hukum

IPLC Law Firm membantu permasalahan hukum anda

Praktisi Hak Kekayaan Intelektual

Kami membantu anda di bidang Hak Kekayaan Intelektual

Konsultasi Online

Kami membantu permasalahan hukum anda secara online

Advokat dan Konsultasi Hukum Berpengalaman

Advokat dan Konsultan Hukum berpengalaman

Kontak Kami Segera

Kontak kami via WA : 0813.17.906.136

Sabtu, 05 Oktober 2019

Persyaratan Pendirian Lembaga Manajemen Kolektif Serta Peranannya Terhadap Pengumpulan Royalti Atas Ciptaan Musik Ditinjau Dari Uu No 28 Tahun 2014


ABSTRACT

There is an economical right in creation of music that mus be protected on behalf of music creator interest. Generally the economical rights realized in the royalty form of the use of the creation by the legal subject, either person or legal entity. However, there are a lot people who does not aware yet that based on the Indonesian Copyrights Law Number 28 of 2014 the authorized subject that can manage the economical right in this case collecting a royalty is Collective Management Organization (LMK), therefore, with the presence of LMK the creator be forbidden to collect their royalty directly. The operational form of LMK must refer to the term and condition stated in the applicable regulation. Therefore, this paper aimed to explain the said matter.

Keywords: Collective Management Organization,  Function, Term of Establishment


ABSTRAK
Dalam suatu ciptaan musik terdapat hak ekonomi yang harus dilindungi demi kepentingan pencipta musik tersebut. Umumnya hak ekonomi tersebut diwujudkan dalam bentuk royalti atas pemanfaatan atau penggunaan suatu ciptaan tersebut oleh subjek hukum, baik perorangan maupun badan hukum. Namun, masih banyak yang belum mengetahui bahwa menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang boleh mengelola hak ekonomi dalam hal ini memumut royalti adalah Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), sehingga, dengan adanya LMK tersebut seorang pencipta tidak diperbolehkan lagi memumut royalti miliknya secara langsung. Adapun bentuk dan pengoperasionalan LMK itu sendiri harus sesuai dengan syarat-syarat khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku. Oleh karenanya tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai hal tersebut.

Kata Kunci: Lembaga Manajemen Kolektif, Fungsi, Syarat Pendirian


I.             PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di era digital dan dengan berkembangnya industri musik di Indonesia mengakibatkan banyaknya seseorang atau beberapa orang membuat hasil karya cipta di bidang pengetahuan, seni dan sastra agar dapat diketahui dan dinikmati oleh masyarakat dalam aktivitas sehari hari. Salah satu hasil karya cipta yang banyak diciptakan oleh seorang atau beberapa pencipta adalah ciptaan di bidang seni, yaitu musik. Musik merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi oleh Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta karena di dalam suatu karya cipta musik terdapat hak ekonomi bagi si pencipta musik tersebut.
Terbitnya Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya akan disingkat dengan UUHC 2014) menjadi harapan baru bagi insan musik, khususnya para Pencipta[1], Artis Penyanyi dan Pemusik. Apalagi di dalam UU tersebut diatur secara lebih rinci mengenai organisasi LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) yang menangani penghimpunan (collecting) dan distribusi royalti. Setidak-tidaknya tentang bentuk hukum dan apa yang menjadi fungsi dan tugas organisasi tersebut telah mendapatkan pengaturan yang lebih jelas dan rinci.[2]
Lembaga Manajemen Kolektif adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.[3]
LMK menjalankan administrasi kolektif ciptaan lagu dengan langkah-langkah: (1)mendapatkan kuasa para pencipta lagu untuk mengelola hak ekonomi atas lagu; (2)memberikan seluruh izin pengumuman lagu sebagai satu kesatuan (blanket license) kepada para pengguna lagu (user) serta memungut royaltinya; dan (3)mendistribusikan royalti terkumpul kepada para pemberi kuasa, setelah dikurangi biaya operasional yang di dalamnya termasuk komisi LMK.[4]
Sehingga, tujuan utama LMK adalah untuk menghimpun royalti atas pemanfaatan karya cipta (dalam hal ini adalah musik) dan mendistribusikannya kepada pencipta. Dalam ranah kekayaan intelektual, royalti harus dibayar karena musik adalah suatu karya intelektual manusia yang mendapat perlindungan hukum. Jika pihak lain ingin menggunakannya sepatutnya meminta izin kepada si pemilik hak cipta. Pembayaran royalti merupakan konsekuensi dari menggunakan jasa / karya orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, lagu merupakan salah satu sarana penunjang dalam kegiatan usaha, misalnya restoran, diskotik atau karaoke hingga usaha penyiaran[5].
Namun, banyak para pihak, khususnya para praktisi belum mengetaui mengenai syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi dalam membuat LMK serta peran LMK terhadap pengumpulan dan pengelolaan hak ekonomi berupa royalti dari pengguna ciptaan (user) yang nantinya akan didistribusikan kepada pencipta.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah yang dikemukakan dalam jurnal ini adalah sebagai berikut :
1.      Apa syarat pendirian Lembaga Manajemen Kolektif sesuai dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta?
2.      Bagaimana peran Lembaga Manajemen Kolektif terhadap pengumpulan royalti atas ciptaan music ditinjau dari Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta?
II.          PEMBAHASAN

A.    Syarat Pendirian Lembaga Manajemen Kolektif Sesuai Dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
Tanggal 16 Oktober 2014 RUU tentang Hak Cipta disahkan menjadi UU No. 28 Tahun 2014. Keberadaan LMK dan pengaturannya menjadi isu yang menarik perhatian.[6] LMK di dalam UUHC 2014 tersebut diatur di dalam Bab XII dari pasal 87 – pasal 93 (terdapat satu bab dan 7 pasal khusus mengatur mengenai LMK).
Terkait dengan syarat pendirian LMK, Pasal 88 UUHC 2014 memyebutkan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif wajib mengajukan Permohonan izin operasional kepada Menteri. Izin operasional tersebut harus memenuhi syarat memenuhi syarat:
1.      berbentuk badan hukum Indonesia yang bersifat nirlaba;
2.      mendapat kuasa dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti;
3.      memiliki pemberi kuasa sebagai anggota paling sedikit 200 (dua ratus) orang Pencipta untuk Lembaga Manajemen Kolektif bidang lagu dan/atau musik yang mewakili kepentingan pencipta dan paling sedikit 50 (lima puluh) orang untuk Lembaga Manajemen Kolektif yang mewakili pemilik Hak Terkait dan/atau objek Hak Cipta lainnya;
4.      bertujuan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti; dan
5.      mampu menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait.
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa terdapat kata “dan pada kata terakhir angka 4 tersebut, sehingga secara hukum terdapat 5 (lima) syarat kumulatif yang harus dipenuhi oleh seseorang apabila ingin membentuk atau mendirikan LMK. Dengan kata lain, apabila salah satu syarat saja tidak terpenuhi, maka Lembaga Manajemen Kolektif tersebut tidak dapat memperoleh izin operasional dari Menteri sehingga tidak dapat menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti untuk dan atas nama pencipta.

Namun, untuk menganalisa syarat pendirian suatu LMK tidak hanya berhenti pada UUHC 2014, mengingat Pasal 93 UUHC 2014 tersebut menegaskan bahwa ‘Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan penerbitan izin operasional, serta evaluasi mengenai Lembaga Manajemen Kolektif diatur dengan Peraturan Menteri.
Sehingga, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2014 tentang Tata Cara Permohonan Dan Penerbitan Izin Operasional Serta Evaluasi Lembaga Manajemen Kolektif (Selanjutnya disebut Permen No. 29 Tahun 2014) sebagai  aturan turunan dari Pasal 93 UUHC 2014 tersebut di atas.
Pasal 2 Permen No. 29 Tahun 2014 tersebut menegaskan bahwa:
(1)   untuk dapat menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, LMK wajib memiliki izin operasional dari Menteri.
(2)   Untuk memperoleh izin operasional, LMK harus memenuhi syarat:
a.        Berbentuk badan hukum Indonesia yang bersifat nirlaba;
b.      Mendapat kuasa dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau Pemilik Hak Terkait untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti;
c.          Memiliki pemberi kuasa sebagai anggota paling sedikit 200 (dua ratus) orang Pencipta untuk LMK bidang lagu dan/atau musik yang mewakili kepemtingan pencipta dan paling sedikit 50 (lima puluh) orang untuk LMK yang mewakili pemilik Hak Terkait dan/atau objek Hak Cipta lainnya;
d.      Bertujuan untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan Royalti; dan
e.          Mampu menarik, menghimpun dan mendistribusikan Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait.

Untuk memperoleh izin operasional, LMK mengajukan permohonan secara tertulis kepada menteri yang disampaikan secara langsung dengan melampirkan dokumen pendukung berupa[7];
a.       Salinan Akta Pendirian;
b.      Salinan Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum;
c.       Surat kuasa dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik hak terkait;
d.      Anggaran dasar LMK;
e.       Fotocopy kartu tanda penduduk pengurus LMK;
f.       Daftar nama anggota LMK;
g.      Daftar karya cipta dan/atau daftar produk Hak Terkait yang dikelola oleh LMK; dan
h.      Surat pernyataan mampu menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik hak terkait.

Sehingga, Menteri akan memberikan izin operasional dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap apabila semua persyaratan tersebut diatas telah terpenuhi.[8]

B.     Peran Lembaga Manajemen Kolektif Sesuai Dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Pasal 87 Ayat (1) UUHC 2014 menyatakan bahwa “Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.”
Secara tersirat, Pasal tersebut telah menegaskan bahwa baik Pencipta, Pemegang Hak Cipta, maupun Pemilik Hak Terkait tidak dapat lagi menarik royalti secara langsung kepada pengguna (user) karena UUHC 2014 telah memberikan kewenangan kepada LMK untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan Royalti miliknya. Dengan kata lain, segala sesuatu terkait penarikan dan pendistribusian royalti dari pengguna (user) dilakukan oleh LMK untuk dan atas nama pemberi kuasa, dalam hal ini adalah Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik hak terkait.
UUHC 2014 tersebut setidaknya memberikan minimal dua keuntungan yang akan diperoleh pencipta lagu melalui pemberian kuasa kepada LMK. Keuntungan pertama, pencipta lagu tidak perlu memantau pengumuman lagu miliknya yang tersebar karena monitoring tersebut dilakukan LMK.[9] Keuntungan kedua, pencipta lagu tidak perlu bertransaksi atas setiap pengajuan izin pengumuman lagu karena transaksi tersebut dijalankan LMK.[10]
Keuntungan-keuntungan di atas tidak terlihat dalam praktik kegiatan LMK di Indonesia. Keberadaan LMK justru menghadapi perselisihan dari para pencipta lagu maupun resistensi para pengguna lagu (user).[11]
Prinsipnya, negara memberi kemudahan bagi para Pencipta, Pemegang Hak Cipta atau Pemilik hak terkait untuk tidak perlu lagi menarik royalti secara pribadi. Dalam arti bahwa Pemerintah ingin memberikan kesempatan kepada mereka para pencipta karya cipta untuk tetap fokus mengekspresikan karya-karyanya baik di bidang seni, sastra, maupun budaya tanpa harus memikirkan kepentingan ekonomi dari ciptaan atau karya ciptanya.
Adanya kepentingan yang bersifat ekonomi di dalam hak cipta tersebut merupakan suatu perwujudan dari sifat hak cipta itu sendiri, yaitu bahwa ciptaan-ciptaan yang merupakan produk olah pikir manusia itu mempunyai nilai, karena ciptaan-ciptaan tersebut merupakan suatu bentuk kekayaan, walaupun bentuknya tidak berwujud (intangible). Bagi manusia yang benghasilkannya, karya cipta tersebut memang memberikan kepuasan. Tetapi dari segi yang lain, karya cipta tersebut sebenarnya juga memiliki arti ekonomi. hal ini perlu dipahami, dan tidak sekadar mengaggapnya semata-mata sebagai karya yang memberi kepuasan batiniah, bersifat universal dan dapat dinikmati oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun juga, apalagi dengan sikap bahwa sepantasnya hal itu dapat diperoleh secara cuma-cuma. sikap seperti itu terasa kurang adil, sekalipun seringkali mengatasnamakan paham kekeluargaan, kegotongroyongan dan lain-lain yang sejenis dengan itu. Seandainya sang pencipta selaku pemilik hak atas karya cipta dengan sadar dan sengaja membiarkan dan memberikan karyanya dipakai atau ditiru masyarakat dengan cuma-cuma, hal itu pun tetap tidak mengurangi kewajiban setiap orang untuk menghargai dan mengakui hak tersebut.[12]


[1] Menurut Pasal 1 butir 2 UUHC 2014, Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Sedangkan menurut Muhammad Djumhana dan R. Jubaedillah, Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang telah melahirkan sebuah perwujudan ide atau gagasan menjadi suatu karya yang dapat dinikmati. Dengan kata lain bahwa ciptaan seseorang pencipta akan dianggap mulai ada sejak pertama kali diumumkan atau dipublikasikan sehingga ciptaan itu dapat dilihat, didengar dan dibaca
[2] Agus Sardjono, “Problem Hukum Regulasi LMK & LMKN Sebagai Pelaksana Undang-undang Hak Cipta 2014” Jurnal Hukum & Pembangunan Vol.46 No.1.64 (Maret, 2016).
[3] Pasal 1 Butir 22 UUHC 2014
[4] Otto Hasibuan, 2008, Hak Cipta di Indonesia: Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights, dan Collecting Society, Alumni, Bandung, hal. 201.
[5] Tim Lindsay, dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: Asian Law Group Pty. Ltd. bekerja sama dengan Alumni, 2002, hlm 120
[6] Achmad Zen Purba “Capres, Artis, dan Hak Cipta”, Kompas, 16 Juli 2014.
[7] Pasal 3 Permen No. 29 Tahun 2014
[8] Pasal 4 ayat (2) Permen No. 29 Tahun 2014
[9] Paul Goldstein, 2001, International Copyright: Principles, Law, and Practice, Oxford University Press, Oxford, hal. 228.
[10] William M. Landes dan Richard A. Posner, 2003, The Economic Structure of Intellectual Property Law, The Belknap Press of Harvard University Press, Massachusetts, hal. 30.
[11] Wendi Putranto, 2009, Rolling Stones Music Biz: Manual Cerdas Menguasai Bisnis Musik, Penerbit B-First, Yogyakarta, hal. 83.
[12] Bambang Kesowo, Pengantar Umum Mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia, Jakarta: Makalah, disapaikan pada ceramah/Diskusi Hukum yang berkembang, Mahkamah Agung, 1996, hlm 24


DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Buku

Djumhana, Muhammad dan R. Jubaedillah, 1993. Hak Milik Intelektual, Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti

Goldstein, Paul. 2001. International Copyright: Principles, Law, and Practice, Oxford, Oxford University Press.

Hasibuan, Otto, 2008. Hak Cipta di Indonesia: Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights, dan Collecting Society, Bandung: Alumni, Bandung.

Lindsay, Tim dkk, 2002. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: Asian Law Group Pty. Ltd. bekerja sama dengan Alumni.

M. Landes, William dan Richard A. Posner, 2003. The Economic Structure of Intellectual Property Law, Massachusetts, The Belknap Press of Harvard University Press.

Putranto, Wendi, 2009. Rolling Stones Music Biz: Manual Cerdas Menguasai Bisnis Musik, Yogyakarta Penerbit B-First.

Jurnal

Sardjono, Agus, 2016. Jurnal “Problem Hukum Regulasi LMK & LMKN Sebagai Pelaksana Undang-undang Hak Cipta 2014” Jakarta: Jurnal Hukum & Pembangunan, Universitas Indonesia.

Makalah

Kesowo, Bambang, 1996. Makalah Pengantar Umum Mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia, Mahkamah Agung, Jakarta


Lain-Lain

Media Cetak, Zen Purba, Achmad, Kompas, 16 Juli 2014 “Capres, Artis, dan Hak Cipta”

Ditulis oleh : IPLC Law Firm
Jika anda ingin mendaftarkan Hak Cipta bisa kontak kami di WA : 0813.17.906.136








 

Share:

Kamis, 27 Juni 2019

Jasa Pengecekan Merek Dagang dan Merek Jasa Perusahaan

Kami dapat membantu Perusahaan anda dalam melakukan pengecekan merek dagang dan merek jasa yang akan digunakan dalam perdagangan barang dan perdagangan jasa perusahaan anda. Pengecekan merek sangat penting untuk dilakukan untuk mengetahui apakah merek yang akan digunakan dan didaftarkan pendaftaran mereknya telah terlebih dahulu didaftarkan atau tidak oleh pihak lain ke Kantor Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI. Pengecekan merek yang kami lakukan dilakukan dengan cara online, anda cukup kirimkan contoh mereknya via Whatsapp dan menjelaskan jenis barang atau jasa yang akan digunakannya tersebut. Selanjutnya kami akan menginformasikan hasil pengecekannya tersebut ke email dan whatsapp anda dengan analisa hukum apakah merek yang akan anda daftarkan tersebut aman untuk didaftarkan atau tidak, atau anda harus mengganti merek tersebut karena sudah ada perusahaan lain yang telah mendaftarkan terlebih dahulu. Perlu dicatat, bahwa pengecekan merek sangat vital dan sangat penting untuk dilakukan, jangan sampai ketika kita menjual produk barang dan jasa kita di pasaran ternyata merek tersebut sudah terdaftar terlebih dahulu oleh pihak lain, sehingga pihak lain tersebut mengirimkan somasi/surat teguran kepada kita untuk menghentikan penjualan barang dan jasa kita di pasaran.

Apabila anda ingin melakukan pengecekan merek segera saja kontak kami melalui WA di 0813.17.906.136




Share:

Selasa, 25 Juni 2019

Jasa Pendaftaran Merek HKI

Kami dapat membantu anda untuk mendaftarkan merek dagang dan merek jasa perusahaan anda. Pendaftaran merek dagang dan merek jasa sangat penting untuk dilakukan untuk mencegah pihak lain membajak merek yang akan anda gunakan. Jangan sampai usaha dan bisnis anda sudah berjalan dengan baik, banyak pelanggan, dikenal konsumen, namun tiba-tiba ada pihak lain yang mendaftarkan merek dagang dan merek jasa anda karena anda tidak mendaftarkan mereknya terlebih dahulu. Mengapa hal ini bisa terjadi ? jawabannya karena sistem pendaftaran merek bersifat konstitutif dalam artian suatu merek wajib untuk didaftarkan terlebih dahulu baru akan muncul perlindungannya yang diberikan oleh Negara. Jadi, walaupun anda sudah menjalankan usaha dan bisnisnya namun anda tidak mendaftarkan mereknya, maka jika ada pihak lain yang mendaftarkan terlebih dahulu maka pihak lain lah yang berhak untuk mendapatkannnya, karena dalam pendaftaran merek berlaku sistem First to File, yaitu yang mendaftar lebih dahulu maka dialah yang berhak untuk mendapatkannya. Oleh karena itu, maka jangan ragu untuk segera mendaftarkan merek anda dahulu, walaupun ada belum menjalankan usaha dan bisnisnya. Jika ada ingin segera mendaftarkan merek dagang dan merek jasa anda, maka anda dapat menghubungi kami via WA : 0813.17.906.136. Kami dapat membantu anda secara cepat dan profesional dengan didukung oleh Konsultan Hak Kekayaan Intelektual yang sangat berpengalaman di bidangnya.

#DaftarMerek #DaftarMerekMurah #DaftarMerekHKI #DaftarMerekUMKM #DaftarMerekPerusahaan  #JasaKonsultanHKI  #JasaKonsultanKI  #KonsultanHKIJakarta 

#Daftarkan dahulu saja merek anda... lalu segera jalankan bisnisnya :)

Daftar Merek :
Kontak kami melalui WA : 0813.17.906.136
IPLC Law Firm


Share:

Senin, 17 Juni 2019

Intellectual Property Attorney in Indonesia

Please find attached our Intellectual Property Law Firm Company Profile in Indonesia below :

DOWNLOAD
Share:

Minggu, 16 Juni 2019

Company Profile Kantor Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

Silahkan download company profile Kantor Hukum IPLC (Intellectual Property Legal Consulting) dengan cara klik tulisan download di bawah ini :

DOWNLOAD

Please find attached our Intellectual Property Law Firm Company Profile in Indonesia below :

DOWNLOAD
Share:

Rabu, 05 Juni 2019

Logo IPLC Law Firm

Berikut adalah Logo IPLC Law Firm untuk marketing tool, logo ini dapat ditempatkan di kaos, topi, kop surat, buku dan kartu nama. Logo ini didesain menggunakan https://www.logodesign.net

Share:

Jumat, 31 Mei 2019

Kasus Hak Cipta : Peninjauan Kembali Kasus Hak Cipta (Putusan Nomor 122 PK/Pdt.Sus-HKI/2015)



      1.  Kronologis Kasus
Bahwa Penggugat yaitu Yayasan Karya Cipta Indonesia (KCI) adalah suatu badan hukum (recht persoon) yang berbentuk Yayasan yang didirikan berdasarkan Akte Pendirian Nomor 42 tertanggal 12 Juni 1990 yang dibuat oleh dan di hadapan Ny. Lindasari Bachroem, S.H., Notaris Jakarta, yang diprakarsai oleh para seniman music/Pencipta, di antaranya yaitu: Hein Enteng Tanamal, Titiek Puspa, Guruh Soekarno Putra, Rinto Harahap, Chandra Darusman, SE, Walter Simanjuntak, SH, Taufik Hidayat, Bambang Kesowo, SH., LLM, A. Riyanto, Dimas Wahab, Paul Hutabarat, SH, Tb. Sadikin Zuchra dan PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia.
Bahwa Penggugat melakukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap PT VIZTA PRATAMA INUL VIZTA KARAOKE MANADO, berkedudukan di Kompleks Mega Mas Blok 1-A2, Jalan Unit Ruko Nomor 50-52, Manado, Sulawesi Utara.

Adapun dasar dari Gugatan Penggugat adalah sebagai berikut :

Bahwa sejak tanggal 30 Maret 2012, Tergugat sudah tidak lagi mempunyai izin berupa Lisensi dalam melakukan kegiatan usaha karaokenya tetapi masih menjalankan usahanya. Padahal Lisensi tersebut wajib dimiliki oleh Tergugat karena secara de facto bahwa ciptaan (lagu) adalah faktor yang paling utama dalam usaha karaoke yang dijalankan oleh Tergugat. Tanpa lagu, usaha karaoke Tergugat tidak ada artinya sama sekali. Dengan demikian, dengan tidak adanya izin berupa Lisensi yang dimiliki oleh Tergugat, maka Tergugat nyata telah melakukan suatu pelanggaran hukum di bidang Hak Cipta seperti yang disyaratkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Hak Cipta, yang berbunyi :

“Hak Cipta adalah hak ekslusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”;

“Yang dimaksud dengan hak ekslusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya”;

Dalam pengertian “mengumumkan atau memperbanyak”, termasuk kegiatan
menterjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun;

Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar telah memberikan putusan Nomor 01/HKI/Cipta/2012/PN Niaga.Mks. tanggal 28 Maret 2013 yang amarnya sebagai berikut :

I. DALAM KONVENSI:
1. Dalam Eksepsi
- Menolak eksepsi Tergugat untuk seluruhnya;

2. Dalam Pokok Perkara:
- Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
- Menyatakan Tergugat telah melakukan pelanggaran terhadap hak cipta lagu karya cipta lagu/musik yaitu telah melakukan kegiatan pengumuman (performing) tanpa izin dari Penggugat yang dikwalifikasi sebagai perbuatan melawan hukum (PMH);
- Menghukum Tergugat membayar ganti rugi/royalty sebesar Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) kepada Penggugat;
- Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya;

II. DALAM REKONVENSI:
- Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi;

III. DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI:
- Menghukum Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam Rekonvensi untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp1.511.000,00 (satu juta lima ratus sebelas ribu rupiah);

Menimbang, bahwa amar putusan Mahkamah Agung Nomor 392 K/Pdt.Sus-HKI/2013 tanggal 31 Maret 2015 sebagai berikut :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT VIZTA PRATAMA INUL VIZTA KARAOKE MANADO tersebut;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar Nomor 01/HKI//2012/PN Niaga.Mks. tanggal 28 Maret 2013;

MENGADILI SENDIRI
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;
- Menghukum Termohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan, yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah);

Kemudian didalam Pertimbangan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung Republik Indonesia menyatakan  bahwa alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama alasan-alasan peninjauan kembali tanggal 18 September 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Juris, dalam hal ini Mahkamah Agung telah melakukan kekeliruan yang nyata dalam putusannya, dengan pertimbangan sebagai berikut :
- Bahwa alasan-alasan peninjauan kembali dapat dibenarkan karena terdapat kekeliruan yang nyata dalam putusan Judex Juris yang menyatakan bahwa Pemohon Peninjauan Kembali selaku lembaga manajemen kolektif sebagai lembaga yang mencari keuntungan karena bertentangan dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan; pada hal kegiatan pemungutan royalty adalah untuk kepentingan para Pencipta/Pemusik bukan untuk mencari keuntungan, dan eksistensi dari Pemohon Peninjauan Kembali selaku lembaga management kolektif telah diakui oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta juncto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta/revisi, vide Bab XVIII Ketentuan Peralihan Pasal 121, khusunya poin d, e, f dan g. Bahwa in casu ternyata Termohon Peninjauan Kembali masa berlaku lisensinya telah berakhir tanggal 29 Maret 2012, namun walau telah disomasi Termohon Peninjauan Kembali masih menggunakan karya cipta musik dan lagu tanpa ijin sehingga Termohon Peninjauan Kembali telah melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung berpendapat terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali YAYASAN KARYA CIPTA INDONESIA (KCI) tersebut dan membatalkan putusan Mahkamah Agung Nomor 392 K/Pdt.Sus-HKI/2013 tanggal 31 Maret
2015 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara ini dengan
amar sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
Menimbang, bahwa karena permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali dikabulkan, maka Termohon Peninjauan Kembali dihukum untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan pemeriksaan peninjauan kembali;
Memperhatikan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-Undang 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.

M E N G A D I L I
1. Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan
Kembali YAYASAN KARYA CIPTA INDONESIA (KCI) tersebut;
2. Membatalkan putusan Mahkamah Agung Nomor 392 K/Pdt.Sus-HKI/2013
tanggal 31 Maret 2015;

MENGADILI KEMBALI
DALAM KONVENSI:
Dalam Eksepsi
- Menolak eksepsi Tergugat untuk seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara:

Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
- Menyatakan Tergugat telah melakukan pelanggaran terhadap hak cipta lagu karya cipta lagu/musik yaitu telah melakukan kegiatan pengumuman (performing) tanpa izin dari Penggugat yang dikwalifikasi sebagai perbuatan melawan hukum (PMH);
- Menghukum Tergugat membayar ganti rugi/royalty sebesar Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) kepada Penggugat;
- Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya;
DALAM REKONVENSI:
- Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi;
DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI:
- Menghukum Termohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan pemeriksaan peninjauan kembali, yang dalam pemeriksaan peninjauan kembali sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat musyawarah Majelis Hakim pada hari Rabu tanggal 19 Oktober 2016 oleh H. Mahdi Soroinda Nasution, S.H.,M.Hum., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, I Gusti Agung Sumanatha, S.H.,M.H., dan Sudrajad Dimyati, S.H.,M.H., Hakim-Hakim Agung, masing-masing sebagai Anggota, putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua dengan dihadiri oleh Anggota-anggota tersebut dan Retno Kusrini, S.H.,M.H., Panitera Pengganti tanpa dihadiri oleh para pihak.

2.  Analisa Kasus

Berdasarkan Pasal 45 ayat (4) di dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dikatakan bahwa :

“Jumlah royalti yang wajib dibayarkan kepada Pemegang Hak Cipta oleh penerima Lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi”.

Penggugat selaku pihak yang Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang menerima Kuasa dari pencipta lagu untuk mengumpulkan pembayaran royalty dari penerima lisensi terikat dengan Pasal 45 ayat (4) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dimana dalam proses pembayarannya tersebut penerima lisensi terikat dengan perjanjian dengan Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) selaku penerima kuasa dari pencipta lagu. Adapun besaran nilai royalti yang harus dibayarkan oleh penerima Lisensi adalah berdasarkan Kesepakatan kedua belah pihak dengan berdasarkan kepada Pasal 1338 dan Pasal 1320 KUHPerdata.

Apabila penerima lisensi tidak mau membayar royalty kepada pencipta lagunya, maka Penggugat selaku pihak yang menerima kuasa dari para pencipta lagu dapat melakukan gugatan perdata.

3.  Kesimpulan

Putusan Peninjuan Kembali yang menyatakan bahwa alasan-alasan peninjauan kembali dapat dibenarkan karena terdapat kekeliruan yang nyata dalam putusan Judex Juris yang menyatakan bahwa Pemohon Peninjauan Kembali selaku lembaga manajemen kolektif sebagai lembaga yang mencari keuntungan karena bertentangan dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan; pada hal kegiatan pemungutan royalty adalah untuk kepentingan para Pencipta/Pemusik bukan untuk mencari keuntungan, dan eksistensi dari Pemohon Peninjauan Kembali selaku lembaga management kolektif telah diakui oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta juncto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta/revisi, vide Bab XVIII Ketentuan Peralihan Pasal 121, khusunya poin d, e, f dan g. Bahwa in casu ternyata Termohon Peninjauan Kembali masa berlaku lisensinya telah berakhir tanggal 29 Maret 2012, namun walau telah disomasi Termohon Peninjauan Kembali masih menggunakan karya cipta musik dan lagu tanpa ijin sehingga Termohon Peninjauan Kembali telah melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian.

Dalam Putusan Peninjauan Kembali, Majelis Hakim menyatakan bahwa walau telah disomasi Termohon Peninjauan Kembali masih menggunakan karya cipta musik dan lagu tanpa ijin sehingga Termohon Peninjauan Kembali telah melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian.

Bagi para pengusaha yang ingin membuka bisnis karaoke di Indonesia hendaknya memperhatikan UU Hak Cipta berkenaan dengan lisensi hak cipta musik sebagaimana diatur di dalam Pasal 89 UU Hak Cipta yang baru UU No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta yaitu sebagai berikut :

(1) Untuk pengelolaan Royalti Hak Cipta bidang lagu dan/atau musik dibentuk 2 (dua) Lembaga Manajemen Kolektif nasional yang masing-masing merepresentasikan keterwakilan sebagai berikut :
a. kepentingan Pencipta; dan
b. kepentingan pemilik Hak Terkait.

Penjelasan Pasal (1.b) Yang dimaksud "pemilik Hak Terkait dibidang lagu dan/atau musik" adalah Pelaku Pertunjukan dan Produser Fonogram.

(2) Kedua Lembaga Manajemen Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti dari Pengguna yang bersifat komersial.

(3) Untuk melakukan penghimpunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kedua Lembaga Manajemen Kolektif wajib melakukan koordinasi dan menetapkan besaran Royalti yang menjadi hak masing-masing Lembaga Manajemen Kolektif dimaksud sesuai dengan kelaziman dalam praktik berdasarkan keadilan.

(4) Ketentuan mengenai pedoman penetapan besaran Royalti ditetapkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan disahkan oleh Menteri.

Kemudian untuk pedoman penetapan royalti diatur di dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Tarif Royalti untuk Pengguna yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu.

Oleh karena itu,  para pengusaha harus memahami UU Hak Cipta dan regulasi terkait lainnya berkenaan dengan lisensi penggunaan musik untuk tujuan komersial di Indonesia, agar ketika membuka usaha Karaoke di Indonesia tidak di gugat oleh pihak lain.

Jika anda ingin melakukan Gugatan di bidang Hak Cipta bisa kontak kami di WA : 0813.17.906.136

Share:

Organisasi Advokat

Kontak Kami :

IPLC Law Firm (Intellectual Property Legal Consulting)

Jl. Cipinang Lontar No. 22, RT. 014 RW. 06, Kelurahan Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur 13420

info.iplclaw@gmail.com

HP/WA : 0813.17.906.136

Visitor :

Flag Counter