Advokat dan Konsultan Hukum

IPLC Law Firm membantu permasalahan hukum anda

Praktisi Hak Kekayaan Intelektual

Kami membantu anda di bidang Hak Kekayaan Intelektual

Konsultasi Online

Kami membantu permasalahan hukum anda secara online

Advokat dan Konsultasi Hukum Berpengalaman

Advokat dan Konsultan Hukum berpengalaman

Kontak Kami Segera

Kontak kami via WA : 0813.17.906.136

Sabtu, 05 Oktober 2019

Persyaratan Pendirian Lembaga Manajemen Kolektif Serta Peranannya Terhadap Pengumpulan Royalti Atas Ciptaan Musik Ditinjau Dari Uu No 28 Tahun 2014


ABSTRACT

There is an economical right in creation of music that mus be protected on behalf of music creator interest. Generally the economical rights realized in the royalty form of the use of the creation by the legal subject, either person or legal entity. However, there are a lot people who does not aware yet that based on the Indonesian Copyrights Law Number 28 of 2014 the authorized subject that can manage the economical right in this case collecting a royalty is Collective Management Organization (LMK), therefore, with the presence of LMK the creator be forbidden to collect their royalty directly. The operational form of LMK must refer to the term and condition stated in the applicable regulation. Therefore, this paper aimed to explain the said matter.

Keywords: Collective Management Organization,  Function, Term of Establishment


ABSTRAK
Dalam suatu ciptaan musik terdapat hak ekonomi yang harus dilindungi demi kepentingan pencipta musik tersebut. Umumnya hak ekonomi tersebut diwujudkan dalam bentuk royalti atas pemanfaatan atau penggunaan suatu ciptaan tersebut oleh subjek hukum, baik perorangan maupun badan hukum. Namun, masih banyak yang belum mengetahui bahwa menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang boleh mengelola hak ekonomi dalam hal ini memumut royalti adalah Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), sehingga, dengan adanya LMK tersebut seorang pencipta tidak diperbolehkan lagi memumut royalti miliknya secara langsung. Adapun bentuk dan pengoperasionalan LMK itu sendiri harus sesuai dengan syarat-syarat khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku. Oleh karenanya tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai hal tersebut.

Kata Kunci: Lembaga Manajemen Kolektif, Fungsi, Syarat Pendirian


I.             PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di era digital dan dengan berkembangnya industri musik di Indonesia mengakibatkan banyaknya seseorang atau beberapa orang membuat hasil karya cipta di bidang pengetahuan, seni dan sastra agar dapat diketahui dan dinikmati oleh masyarakat dalam aktivitas sehari hari. Salah satu hasil karya cipta yang banyak diciptakan oleh seorang atau beberapa pencipta adalah ciptaan di bidang seni, yaitu musik. Musik merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi oleh Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta karena di dalam suatu karya cipta musik terdapat hak ekonomi bagi si pencipta musik tersebut.
Terbitnya Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya akan disingkat dengan UUHC 2014) menjadi harapan baru bagi insan musik, khususnya para Pencipta[1], Artis Penyanyi dan Pemusik. Apalagi di dalam UU tersebut diatur secara lebih rinci mengenai organisasi LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) yang menangani penghimpunan (collecting) dan distribusi royalti. Setidak-tidaknya tentang bentuk hukum dan apa yang menjadi fungsi dan tugas organisasi tersebut telah mendapatkan pengaturan yang lebih jelas dan rinci.[2]
Lembaga Manajemen Kolektif adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.[3]
LMK menjalankan administrasi kolektif ciptaan lagu dengan langkah-langkah: (1)mendapatkan kuasa para pencipta lagu untuk mengelola hak ekonomi atas lagu; (2)memberikan seluruh izin pengumuman lagu sebagai satu kesatuan (blanket license) kepada para pengguna lagu (user) serta memungut royaltinya; dan (3)mendistribusikan royalti terkumpul kepada para pemberi kuasa, setelah dikurangi biaya operasional yang di dalamnya termasuk komisi LMK.[4]
Sehingga, tujuan utama LMK adalah untuk menghimpun royalti atas pemanfaatan karya cipta (dalam hal ini adalah musik) dan mendistribusikannya kepada pencipta. Dalam ranah kekayaan intelektual, royalti harus dibayar karena musik adalah suatu karya intelektual manusia yang mendapat perlindungan hukum. Jika pihak lain ingin menggunakannya sepatutnya meminta izin kepada si pemilik hak cipta. Pembayaran royalti merupakan konsekuensi dari menggunakan jasa / karya orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, lagu merupakan salah satu sarana penunjang dalam kegiatan usaha, misalnya restoran, diskotik atau karaoke hingga usaha penyiaran[5].
Namun, banyak para pihak, khususnya para praktisi belum mengetaui mengenai syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi dalam membuat LMK serta peran LMK terhadap pengumpulan dan pengelolaan hak ekonomi berupa royalti dari pengguna ciptaan (user) yang nantinya akan didistribusikan kepada pencipta.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah yang dikemukakan dalam jurnal ini adalah sebagai berikut :
1.      Apa syarat pendirian Lembaga Manajemen Kolektif sesuai dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta?
2.      Bagaimana peran Lembaga Manajemen Kolektif terhadap pengumpulan royalti atas ciptaan music ditinjau dari Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta?
II.          PEMBAHASAN

A.    Syarat Pendirian Lembaga Manajemen Kolektif Sesuai Dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
Tanggal 16 Oktober 2014 RUU tentang Hak Cipta disahkan menjadi UU No. 28 Tahun 2014. Keberadaan LMK dan pengaturannya menjadi isu yang menarik perhatian.[6] LMK di dalam UUHC 2014 tersebut diatur di dalam Bab XII dari pasal 87 – pasal 93 (terdapat satu bab dan 7 pasal khusus mengatur mengenai LMK).
Terkait dengan syarat pendirian LMK, Pasal 88 UUHC 2014 memyebutkan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif wajib mengajukan Permohonan izin operasional kepada Menteri. Izin operasional tersebut harus memenuhi syarat memenuhi syarat:
1.      berbentuk badan hukum Indonesia yang bersifat nirlaba;
2.      mendapat kuasa dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti;
3.      memiliki pemberi kuasa sebagai anggota paling sedikit 200 (dua ratus) orang Pencipta untuk Lembaga Manajemen Kolektif bidang lagu dan/atau musik yang mewakili kepentingan pencipta dan paling sedikit 50 (lima puluh) orang untuk Lembaga Manajemen Kolektif yang mewakili pemilik Hak Terkait dan/atau objek Hak Cipta lainnya;
4.      bertujuan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti; dan
5.      mampu menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait.
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa terdapat kata “dan pada kata terakhir angka 4 tersebut, sehingga secara hukum terdapat 5 (lima) syarat kumulatif yang harus dipenuhi oleh seseorang apabila ingin membentuk atau mendirikan LMK. Dengan kata lain, apabila salah satu syarat saja tidak terpenuhi, maka Lembaga Manajemen Kolektif tersebut tidak dapat memperoleh izin operasional dari Menteri sehingga tidak dapat menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti untuk dan atas nama pencipta.

Namun, untuk menganalisa syarat pendirian suatu LMK tidak hanya berhenti pada UUHC 2014, mengingat Pasal 93 UUHC 2014 tersebut menegaskan bahwa ‘Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan penerbitan izin operasional, serta evaluasi mengenai Lembaga Manajemen Kolektif diatur dengan Peraturan Menteri.
Sehingga, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2014 tentang Tata Cara Permohonan Dan Penerbitan Izin Operasional Serta Evaluasi Lembaga Manajemen Kolektif (Selanjutnya disebut Permen No. 29 Tahun 2014) sebagai  aturan turunan dari Pasal 93 UUHC 2014 tersebut di atas.
Pasal 2 Permen No. 29 Tahun 2014 tersebut menegaskan bahwa:
(1)   untuk dapat menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, LMK wajib memiliki izin operasional dari Menteri.
(2)   Untuk memperoleh izin operasional, LMK harus memenuhi syarat:
a.        Berbentuk badan hukum Indonesia yang bersifat nirlaba;
b.      Mendapat kuasa dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau Pemilik Hak Terkait untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti;
c.          Memiliki pemberi kuasa sebagai anggota paling sedikit 200 (dua ratus) orang Pencipta untuk LMK bidang lagu dan/atau musik yang mewakili kepemtingan pencipta dan paling sedikit 50 (lima puluh) orang untuk LMK yang mewakili pemilik Hak Terkait dan/atau objek Hak Cipta lainnya;
d.      Bertujuan untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan Royalti; dan
e.          Mampu menarik, menghimpun dan mendistribusikan Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait.

Untuk memperoleh izin operasional, LMK mengajukan permohonan secara tertulis kepada menteri yang disampaikan secara langsung dengan melampirkan dokumen pendukung berupa[7];
a.       Salinan Akta Pendirian;
b.      Salinan Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum;
c.       Surat kuasa dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik hak terkait;
d.      Anggaran dasar LMK;
e.       Fotocopy kartu tanda penduduk pengurus LMK;
f.       Daftar nama anggota LMK;
g.      Daftar karya cipta dan/atau daftar produk Hak Terkait yang dikelola oleh LMK; dan
h.      Surat pernyataan mampu menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik hak terkait.

Sehingga, Menteri akan memberikan izin operasional dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap apabila semua persyaratan tersebut diatas telah terpenuhi.[8]

B.     Peran Lembaga Manajemen Kolektif Sesuai Dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Pasal 87 Ayat (1) UUHC 2014 menyatakan bahwa “Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.”
Secara tersirat, Pasal tersebut telah menegaskan bahwa baik Pencipta, Pemegang Hak Cipta, maupun Pemilik Hak Terkait tidak dapat lagi menarik royalti secara langsung kepada pengguna (user) karena UUHC 2014 telah memberikan kewenangan kepada LMK untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan Royalti miliknya. Dengan kata lain, segala sesuatu terkait penarikan dan pendistribusian royalti dari pengguna (user) dilakukan oleh LMK untuk dan atas nama pemberi kuasa, dalam hal ini adalah Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik hak terkait.
UUHC 2014 tersebut setidaknya memberikan minimal dua keuntungan yang akan diperoleh pencipta lagu melalui pemberian kuasa kepada LMK. Keuntungan pertama, pencipta lagu tidak perlu memantau pengumuman lagu miliknya yang tersebar karena monitoring tersebut dilakukan LMK.[9] Keuntungan kedua, pencipta lagu tidak perlu bertransaksi atas setiap pengajuan izin pengumuman lagu karena transaksi tersebut dijalankan LMK.[10]
Keuntungan-keuntungan di atas tidak terlihat dalam praktik kegiatan LMK di Indonesia. Keberadaan LMK justru menghadapi perselisihan dari para pencipta lagu maupun resistensi para pengguna lagu (user).[11]
Prinsipnya, negara memberi kemudahan bagi para Pencipta, Pemegang Hak Cipta atau Pemilik hak terkait untuk tidak perlu lagi menarik royalti secara pribadi. Dalam arti bahwa Pemerintah ingin memberikan kesempatan kepada mereka para pencipta karya cipta untuk tetap fokus mengekspresikan karya-karyanya baik di bidang seni, sastra, maupun budaya tanpa harus memikirkan kepentingan ekonomi dari ciptaan atau karya ciptanya.
Adanya kepentingan yang bersifat ekonomi di dalam hak cipta tersebut merupakan suatu perwujudan dari sifat hak cipta itu sendiri, yaitu bahwa ciptaan-ciptaan yang merupakan produk olah pikir manusia itu mempunyai nilai, karena ciptaan-ciptaan tersebut merupakan suatu bentuk kekayaan, walaupun bentuknya tidak berwujud (intangible). Bagi manusia yang benghasilkannya, karya cipta tersebut memang memberikan kepuasan. Tetapi dari segi yang lain, karya cipta tersebut sebenarnya juga memiliki arti ekonomi. hal ini perlu dipahami, dan tidak sekadar mengaggapnya semata-mata sebagai karya yang memberi kepuasan batiniah, bersifat universal dan dapat dinikmati oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun juga, apalagi dengan sikap bahwa sepantasnya hal itu dapat diperoleh secara cuma-cuma. sikap seperti itu terasa kurang adil, sekalipun seringkali mengatasnamakan paham kekeluargaan, kegotongroyongan dan lain-lain yang sejenis dengan itu. Seandainya sang pencipta selaku pemilik hak atas karya cipta dengan sadar dan sengaja membiarkan dan memberikan karyanya dipakai atau ditiru masyarakat dengan cuma-cuma, hal itu pun tetap tidak mengurangi kewajiban setiap orang untuk menghargai dan mengakui hak tersebut.[12]


[1] Menurut Pasal 1 butir 2 UUHC 2014, Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Sedangkan menurut Muhammad Djumhana dan R. Jubaedillah, Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang telah melahirkan sebuah perwujudan ide atau gagasan menjadi suatu karya yang dapat dinikmati. Dengan kata lain bahwa ciptaan seseorang pencipta akan dianggap mulai ada sejak pertama kali diumumkan atau dipublikasikan sehingga ciptaan itu dapat dilihat, didengar dan dibaca
[2] Agus Sardjono, “Problem Hukum Regulasi LMK & LMKN Sebagai Pelaksana Undang-undang Hak Cipta 2014” Jurnal Hukum & Pembangunan Vol.46 No.1.64 (Maret, 2016).
[3] Pasal 1 Butir 22 UUHC 2014
[4] Otto Hasibuan, 2008, Hak Cipta di Indonesia: Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights, dan Collecting Society, Alumni, Bandung, hal. 201.
[5] Tim Lindsay, dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: Asian Law Group Pty. Ltd. bekerja sama dengan Alumni, 2002, hlm 120
[6] Achmad Zen Purba “Capres, Artis, dan Hak Cipta”, Kompas, 16 Juli 2014.
[7] Pasal 3 Permen No. 29 Tahun 2014
[8] Pasal 4 ayat (2) Permen No. 29 Tahun 2014
[9] Paul Goldstein, 2001, International Copyright: Principles, Law, and Practice, Oxford University Press, Oxford, hal. 228.
[10] William M. Landes dan Richard A. Posner, 2003, The Economic Structure of Intellectual Property Law, The Belknap Press of Harvard University Press, Massachusetts, hal. 30.
[11] Wendi Putranto, 2009, Rolling Stones Music Biz: Manual Cerdas Menguasai Bisnis Musik, Penerbit B-First, Yogyakarta, hal. 83.
[12] Bambang Kesowo, Pengantar Umum Mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia, Jakarta: Makalah, disapaikan pada ceramah/Diskusi Hukum yang berkembang, Mahkamah Agung, 1996, hlm 24


DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Buku

Djumhana, Muhammad dan R. Jubaedillah, 1993. Hak Milik Intelektual, Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti

Goldstein, Paul. 2001. International Copyright: Principles, Law, and Practice, Oxford, Oxford University Press.

Hasibuan, Otto, 2008. Hak Cipta di Indonesia: Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights, dan Collecting Society, Bandung: Alumni, Bandung.

Lindsay, Tim dkk, 2002. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: Asian Law Group Pty. Ltd. bekerja sama dengan Alumni.

M. Landes, William dan Richard A. Posner, 2003. The Economic Structure of Intellectual Property Law, Massachusetts, The Belknap Press of Harvard University Press.

Putranto, Wendi, 2009. Rolling Stones Music Biz: Manual Cerdas Menguasai Bisnis Musik, Yogyakarta Penerbit B-First.

Jurnal

Sardjono, Agus, 2016. Jurnal “Problem Hukum Regulasi LMK & LMKN Sebagai Pelaksana Undang-undang Hak Cipta 2014” Jakarta: Jurnal Hukum & Pembangunan, Universitas Indonesia.

Makalah

Kesowo, Bambang, 1996. Makalah Pengantar Umum Mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia, Mahkamah Agung, Jakarta


Lain-Lain

Media Cetak, Zen Purba, Achmad, Kompas, 16 Juli 2014 “Capres, Artis, dan Hak Cipta”

Ditulis oleh : IPLC Law Firm
Jika anda ingin mendaftarkan Hak Cipta bisa kontak kami di WA : 0813.17.906.136








 

Share:

Organisasi Advokat

Kontak Kami :

IPLC Law Firm (Intellectual Property Legal Consulting)

Jl. Cipinang Lontar No. 22, RT. 014 RW. 06, Kelurahan Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur 13420

info.iplclaw@gmail.com

HP/WA : 0813.17.906.136

Visitor :

Flag Counter